Halaman

Selasa, 09 Juni 2009

GHAUST Review Part 1

GHAUST REVIEW BY APOKALIP WEBZINE (5/6)
Kami tidak berusaha bermain indah, maka estetika bukan menjadi daya tarik kami. Musik kami tidaklah demi sensasi telinga, melainkan merupakan konsistensi dalam bermain musik. Walaupun beresiko menimbulkan rasa bosan, tetapi di sisi lain musik kami begitu persuasif." Begitu kalimat yang saya baca dari press release album perdana Ghaust yang sudah dilempar ke pasar baru-baru ini. Pasar?! Saya kurang paham apakah musik yang mereka mainkan memiliki 'pasar' di negeri ini. Tapi yang saya tahu, banyak teman-teman metalhead yang tiba-tiba suka pada Isis, Pelican atau Jesu. Setidaknya dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini, jenis musik post-metal [atau apapun namanya] cukup mencuri hati dan telinga. Namun ini tidak serta merta bisa disebut 'lagi trend' atau 'sedang musim'. Sebab genre ini masih tetap segmented dan eksklusif. Sedikit agak happening untuk konsumsi telinga tertentu mungkin iya. Sebab kegalauan musik metal memang ada pada genre post-metal ini. Saya selalu suka jika menemukan sesuatu yang baru dari band lokal dan ikut memperkaya katalog musik tanah air. Seperti Ghaust yang sedari dulu sudah disebut sebagai ancaman dan berbahaya, setidaknya menurut prediksi situs Apokalip atau media lainnya. Rekaman ini lalu hadir dan cukup membuktikan hipotesa tersebut. Day After [Entering Into peace] bergerak lambat dan berat. Dumb and doomy. Versi demonya sudah pernah ada di halaman MySpace mereka. Selaras dengan titel track kedua, Sleep and Release, cukup menina-bobokan serta melepaskan beban. Set yang rileks, juga tak peduli hari esok. TorchLight tampak lebih soft dengan presisi riff gitar yang makin intens. Instrumentasi yang bertehnik dan rapi. Dilanjutkan Akasia yang mengawal cepat dan membabi-buta. Untuk kemudian meliuk-liuk di batas sound yang keras. Meluncur bersama riff dan petikan gitar nan lembut serta tempo beat yang dikawal ketat oleh ketukan drum. The Wolf and The Boar mengalun datar tanpa gejolak yang berarti. Sepi, seperti hutan gersang tanpa lolongan serigala di malamnya. Pesona samudera luas dan tenggelamnya batin disajikan secara mendalam pada At Sea [We Are Nothing]. Ada bagian yang upbeat juga di sini. Anda masih diberi kesempatan untuk menggoyangkan kepala. Sejenak saja, sebelum track ini berakhir dengan buaian sound kalem yang ramai. Well, album ini memang menawarkan petualangan audio yang intim dan cukup personal. Mungkin terlalu mengerikan jika saya menyebut musik Ghaust cukup berat, rumit, atau bukan untuk konsumsi awam. Kesannya sangat tertutup dan sombong sekali. Untuk itu saya musti koreksi sedikit kalimat mereka di awal review tadi. Musik mereka indah dan cukup estetik. Tidak juga membosankan, tapi memang benar kalau persuasif. Meski dalam durasi lumayan panjang namun tetap mengena. Berusaha untuk efektif memang tidak harus efisien. Kadang perlu ada brain-storming dan eksplorasi. Mendengarkan Ghaust seperti menjalani sebuah pengalaman. Jalani saja, tidak perlu pakai teori atau rumus. Layaknya ini ujian dan tantangan, pemahamannya baru akan datang di akhir sesi setelah mengawang bersama Ghaust. Album ini adalah proses dan trigger yang dapat memantapkan kapasitas pendengarnya sebagai 'penemu'. Tugas mereka hanya mencipta, sementara tugas anda adalah untuk menemukan. Ghaust telah mengajarkan kita bagaimana untuk berinteraksi dengan musik tanpa harus ikut bernyanyi, atau bahkan bergerak... [Samack]


GHAUST REVIEW BY ROLLING STONE INDONESIA (4/5)
Menarik bila melihat perkembangan musik khususnya diskena musik rock/metal zaman sekarang. Terobosan terbaru didaratan Amerika dan Eropa adalah genre post metal, dimana kegaharan atau ekspresi primal yang menderu-deru kini mulai digantikan atau dicampur dengan elemen-elemen lain seperti indiepop, noise rock, dan lainnya. Dan untuk pertama kalinya diIndonesia (bahkan disinyalir di Asia Tenggara), ada rilisan jenis musik ini. Indonesia beruntung karena upaya pertama genre ini dilakukan dengan ekstra apik, merupakan karya otak musik bernama Uri Putra dan bandnya yang bernama Ghaust. Selain influens band macam Pelican, Mono, dan Isis, band ini juga menggabungkan tempo lambat khas post metal dengan beberapa bumbu lainnya yang lezat dan pedas seperti nuansa doom metal ala Corrupted, indie ala Ride, dan juga gilasan hardcore punk seperti Amebix, yang membuat sebuah warna baru yang jauh dari membosankan. Dibuka dengan "Day After (entering into peace)" yang tribal dan bernada manis, kemudian "Torchlight" akan membuat kita terdiam, terpaku, dan mengagumi cerdasnya pilihan denting nada yang demikian cantik dengan balutan efek suara reverb dan delay yang meruang. Album ini dipenuhi komposisi berdurasi panjang namun merupakan ekshibisi kreativitas lagu yang berpetualang. Akhir kata, Ghaust adalah sebuah cerita indah, sungguh menarik disimak, dan membuat penasaran akan apa yang bakal terjadi berikutnya. Untuk sebuah karya Instrumental yang 'bisu', Ghaust telah berbicara banyak. [Ricky Siahaan]


GHAUST REVIEW BY THE JAKARTA POST
Post-rock, in case you're a neophyte, is a genre of alternative rock defined by the use of common rock instruments for non-rock purposes. Guitars and drums are standard, but the rhythms, harmonies, melodies, timbre, and chord progressions used are not found in the rock tradition.

Basically, your typical post-rock song will consists of long guitar jams that explore layers of sound in order to create a certain mood. It is a genre that requires not only great technical skill, but a strong melodic imagination.

There is quite a considerable number of bands out there in our local scene that dabble in post-rock. Most of them border on only just decent, simply because they lack imagination. There are even fewer bands here that play hardcore post-rock, the darker side of this musical dream-weaving, as this subgenre requires technical mastery and a lucid imagination; which narrows the field of play tremendously.

South Jakarta-based GHAUST is one band, however, that manges to thrive beautifully in this dimly lit alley of post-rock. The nightmares constructed by this collective (comprised of Uri A. Putra (guitar) and M. Edward (drums)) are built with the utmost precision. The layering of instruments, the slow but steady progression of hard chords, the grinding distortions and the calculated drums are dispersed in careful doses that guide the listener through each space of the somber realm of their musical machinations.

After a few online releases, as well as participation in various compilations, this year saw the release of GHAUST's self-titled full length debut LP, available nationwide through Purbaharuan Recordings. This powerhouse of an album is guaranteed to take you to corners of your imagination previously untouched by other bands. This record is truly mind-blowing; as you read, I'm still picking up the pieces of my brain that were scattered across the floor upon my first listen. It immediately gets a place on my list of 2008's Top Five Local Releases.

GHAUST is an experience the listener would never want to, or be able to forget. Their music will seep into the nooks and crannies of your mind and build little grim empires in your subconscious. I am truly curious as to how their sound will evolve in the future. I will definitely keep my eyes on these guys.

Enough of the grand descriptions, you can learn more about GHAUST firsthand and give a listen to their brilliant pieces at www.myspace.com/soundofghaust. Be sure to leave them some nice comments. Their self-titled debut LP is now available. For a complete listing of record stores that sell the CD, check their myspace page. Be sure to buy it! [Paul F. Agusta]